Banyak orang tua melarang anaknya bermain bersamanya. Bahkan, mereka menyebut Lauren kecil terkena kutukan.
Suasana pantai sangat lengang. Hanya terdengar embusan angin sepoi-sepoi menerpa tubuh. Jiwa raga saya menyatu dengan alam. Hening, terasa damai. Hanya dalam hitungan detik, kedamaian yang saya rasakan itu tiba-tiba hancur berantakan, berhamburan. Sebuah bola api berwarna merah menyala muncul dari laut mendekati saya. Saya diam terpaku, mematung, tak sanggup lari. Di depan mata saya, bola api itu lantas meledak dengan dahsyat! Banyak sekali mayat di sekitar saya! Oh, Tuhan. akan ada bom... Bali
Seperti itulah penglihatan (vision) yang muncul dalam pikiran saya. Prosesnya sulit diduga, datang begitu saja. Begitu tiba-tiba, saat saya sedang melakukan meditasi di Pantai Kuta. Entah kenapa, saya dilanda perasaan yang begitu kuat bahwa akan ada sesuatu yang dahsyat menimpa Pulau Dewata.
Empat hari setelah saya pulang ke Jakarta, terdengar berita menggemparkan itu. Sayangnya, tak banyak yang percaya ketika sebelumnya saya sempat memberi pernyataan melalui sebuah stasiun televisi di sana agar semua pihak berhati-hati. Mereka malah mengatakan, sebagai Pulau Dewata, Bali dilindungi banyak dewa-dewi. Jadi, tak usah cemas.
Ya, wajar saja jika tak semua orang bisa menerima dan memahami vision saya itu. Bahkan, sejak kecil saya sudah tak asing lagi dengan perlakuan serta pandangan curiga orang-orang di sekitar. Banyak orang tua yang melarang anaknya berteman dengan saya. Mereka menganggap saya gadis kecil yang aneh. Ada juga yang tega mengatakan bahwa saya terkena kutukan, bahkan menjuluki saya "nenek sihir yang naik sapu terbang"!
Padahal, apa yang harus saya lakukan? Menampiknya pun saya tak bisa. Karena, saat kejadian-kejadian aneh itu berlangsung, saya sendiri masih terlampau kecil untuk mengerti. Saya tidak menyadari bahwa sesungguhnya saya memiliki "bakat" untuk melihat masa depan, yang di kemudian hari sering disebut sebagai kekuatan supranatural.
Gadis Sebatang Kara di Tengah Perang
Lahir di Negeri Kincir Angin, di sebuah kota kecil Eindhoven, 23 Januari 1932, kisah hidup saya sedari kecil mungkin terdengar menyedihkan. Maklum saja, di usia tiga bulan saya sudah ditinggal Mama untuk selama-lamanya. Anna Breche, itu nama lengkap ibu saya. Sayangnya, saya tak sempat mengenal sosok beliau. Ayah yang saya panggil papa berasal dari Belgia, Lau Van Hooff, seorang arsitek. Karena tuntutan pekerjaannya, ia memboyong keluarganya ke Belanda.
Tapi, saya juga tak lama merasakan kasih sayang ayah. Sejak Mama meninggal, Papa mengajak saya kembali ke Belgia, lalu beliau menikah lagi dengan adik ibu saya. Mereka memberi saya seorang adik perempuan yang usianya hanya berbeda tiga tahun dari saya. Sementara, dari perkimpoian pertamanya (sebelum dengan ibu saya), Papa juga memberikan tiga orang kakak tiri. Saya tak begitu dekat mengenal mereka.
Hmm, agak rumit memang "pohon keluarga" saya. Namun, saya tak pernah menyadarinya sampai suatu ketika Papa meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Sejak itu, secara resmi saya memang tinggal bersama "ibu kedua" (yang juga bibi saya) dan Ria, adik tiri saya. Namun, boleh dibilang, Opa dan Oma-lah yang mengasuh saya sejak kecil. Opa berdarah Persia-Prancis, sementara Oma berdarah Spanyol.
Setelah berusia 6 tahun, saya baru mengetahui bahwa orang-orang yang biasa saya panggil Opa dan Oma tersebut bukanlah kakek dan nenek kandung saya. Nenek buyut saya, Antoineta (yang juga tinggal bersama kami dan paling berperan penting dalam kehidupan masa kecil saya), menceritakan semuanya secara terus terang.
Akibatnya, dalam usia yang sangat dini, saya sudah berpikir keras tentang makna hidup ini. Nenek Antoineta-lah yang dengan sabar mengajari saya agar menjalani hidup apa adanya. Menerima dengan lapang dada segala keadaan. Belajar untuk tidak cepat putus asa dan sakit hati. Apalagi menyakiti sesama ciptaan-Nya.
Dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana. Misalnya, jangan me-mukul binatang, apalagi membunuhnya. Kalau saya memetik kembang hanya untuk dibuang sia-sia, saya kena marah! Walau dari luar saya terlihat cuek dan senang berpenampilan tomboi (karena tidak suka pakai rok dan lebih klop berteman dengan anak laki-laki), sesungguhnya saya adalah gadis kecil yang sensitif. Menyendiri, bermain di alam, dan berteman dengan hewan --burung-burung, kelinci, kucing, anjing-- adalah rutinitas sehari-hari.
Saya masih ingat betul,"teman curhat" saya ketika berusia delapan tahun adalah seekor kodok hijau yang gendut. Bummel, itu nama yang saya berikan untuknya, selalu saya bawa ke tempat tidur dan menjadi teman bicara yang setia. Bertahun-tahun kami menjadi sa-habat karena Bummel adalah pendengar yang baik. Paling-paling dia hanya berkomentar, "Wak... wak... wak...," ketika saya asyik mengoceh panjang lebar dengannya. Ha...ha...ha....
Pendek kata, saya menjelma jadi anak yang tumbuh terlalu cepat. Bukan soal fisik, tetapi lebih dalam hal pemikiran. Saya sudah memikirkan hal-hal yang sebetulnya "belum waktunya" dipikirkan oleh anak-anak seusia saya. Apalagi, waktu itu juga masa perang (awal Perang Dunia II). Semua orang tidak bisa bebas ke mana-mana. Malam hari, ketika sedang enak-enaknya tidur, terpaksa harus bangun karena alarm tanda bahaya berbunyi, dan kami semua harus masuk ke shelter (lubang perlindungan) bawah tanah.
Situasi perang juga menuntut kami harus mampu membela diri. Keadaan juga mengharuskan saya menjadi gadis pemberani dan mampu hidup mandiri. Mungkin karena itu, tanpa sadar sikap saya terbentuk menjadi keras. Apalagi, ketika saya berusia 10 tahun, Opa berpulang, dan tiga tahun kemudian, giliran Oma meninggalkan saya selamanya. Saya harus merelakan kepergian Oma Antoineta yang begitu saya cintai.
Di usia 16 tahun, saya tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Untunglah, kedisiplinan diri dan nilai-nilai yang ditanamkan Oma Antoineta sudah telanjur melekat kuat dalam diri saya, sehingga membuat saya mampu bertahan menghadapi cobaan demi cobaan.
Dialah satu-satunya orang yang mau menerima keberadaan saya apa adanya. Oma Antoineta percaya pada "keajaiban-keajaiban" yang saya lihat dan rasakan. Usia saya baru 7 tahun ketika vision itu datang, tepatnya tahun 1939, ketika Perang Dunia II belum lama pecah. Saya duduk di bangku kelas satu SD dan sedang belajar di kelas bersama teman-teman. Tiba-tiba terdengar suara bisikan di telinga saya, menyuruh saya cepat-cepat keluar dari kelas. Berulang kali suara itu terdengar, tanpa saya tahu siapa yang mengucapkannya.
Untuk sesaat saya diam dan bimbang. Tapi, akhirnya saya menyampaikan apa yang saya dengar kepada ibu guru. "Bu, kita diminta cepat berkemas dari ruangan ini. Kita harus segera pergi harus...!"
Tapi, ibu guru menganggap saya sedang mempermainkannya. Akibatnya, saya dimarahi dan diusir pulang. Saya pun keluar kelas dengan gelisah sekaligus sedih. Sedih karena dianggap mengarang cerita bohong. Sambil menangis saya pulang ke rumah. Setiba di rumah, tangis saya makin menjadi-jadi, karena Oma ikut me-marahi saya. Oma pun tidak memercayai cerita saya. Dianggapnya saya sedang berkhayal.
Hanya Oma Antoineta yang menghibur saya. Dia percaya pada semua perkataan saya, termasuk suara-suara misterius yang saya dengar. Tak lama kemudian, kami pun mendengar kabar mengenaskan; sekolah saya hancur terkena bom! Ratusan orang tewas dalam peristiwa itu!
Sejak saat itulah saya mulai menyadari bahwa diri saya berbeda. Terutama karena setelah itu masih terjadi lagi rentetan peristiwa yang sebelumnya sempat "bermain-main" di telinga dan pelupuk mata saya. Singkat kata, sebelum peristiwa-peristiwa aneh yang kerap tidak masuk akal itu benar-benar terjadi, saya sudah terlebih dulu mengetahuinya lewat "penglihatan" maupun "pendengaran"
Hal itu tidak sekadar firasat semata. Prosesnya bahkan mence-ngangkan. Misalnya saja, telinga saya tiba-tiba menangkap suara yang mengatakan, "Ada tabrakan!" Setelah mendengar suara gaib itu, hati saya biasanya jadi gundah gulana. Hati saya pun terkoyak ketika kecelakaan itu sungguh terjadi, padahal lokasinya cukup jauh dari rumah kami! Duh! Mungkin, itulah penyebab banyak orang tua keberatan anak-anaknya bermain dengan saya. Mereka takut bakal terjadi sesuatu yang mengerikan.
Pada saat-saat seperti itu, Oma Antoineta menjadi orang yang paling memahami diri saya. Tak sekadar pengganti orang tua dan teman, bagi saya beliau adalah seorang sufi yang bijaksana. Ketaatannya sebagai seorang muslimah menjadi panutan saya. Nilai-nilai filosofis tertanam lewat cara hidupnya sehari-hari. Contohnya, ketika suatu hari ia mengalami musibah perampokan, Oma Antoineta malah masih bisa bernyanyi. Saya heran dan bertanya penasaran, "Apa Oma tidak sedih?"
Jawaban beliau masih saya ingat sampai sekarang. "Aduh," katanya, "kamu bisa bayangkan kalau saya perampoknya? Mengambil barang orang adalah dosa besar. Jadi, saya bersyukur karena bukan saya perampoknya. Mungkin, barang yang hilang itu bukan rezeki saya lagi, sudah saatnya berganti pemilik."
Nah, dalam sekali falsafahnya, bukan? Hal-hal yang dicontohkan Oma Antoineta membuat saya mampu melihat segala sesuatu dalam hidup ini dari sudut pandang yang berbeda.